Kamis, 08 Maret 2012

Kritikan dari permasalahan sosial yang menyangkut kebudayaan yang sedang terjadi dimasyarakat Indonesia saat ini.

Manusia adalah makhluk sosial yang artinya makhluk yang tidak mampu hidup sendiri atau selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dalam kehidupan sosial masyarakat dikenal berbagai gejal-gejala sosial seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, proses sosial, perubahan sosial dan kebudayaan. Tidak semua gejala sosial tersebut berjalan secara normal, kadang-kadang-kadang timbul gejala sosial yang tidak dikehendaki yang kemudian sering disebut masalah sosial.
Masalah sosial merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan immoral, berlawanan dengan hukum serta bersifat merusak. Sebab itu masalah-masalah sosial tidak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk (Soerjono Soekamto.1990). Masalah tersebut bersifat sosial karena bersangkut paut dengan hubungan antar manusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang normatif. Hal ini dinamakan masalah sosial karena bersangkut paut dengan dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat.
Ada berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat dan berbagai factor yang menyebabkannya. Kriteria utama masalah sosial yaitu tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah sosial adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Sumber-sumber masalah sosial dapat disebabkan oleh factor manusia maupun oleh alam seperti banjir, tanah longsor, gagal panen, maupun bencana alam lainnya.
Masalah-masalah sosial umum yang terjadi di masyarakat misalnya kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, kenakalan remaja, pelacuran, homoseksualitas dan masalah lingkungan hidup. Masalah sosial-masalah sosial yang sedang marak terjadi saat ini adalah pergaulan bebas remaja dan pelacuran yang berujung pada terinfeksinya seseorang virus HIV. Kasus-kasus HIV tidak hanya terjadi di kota-kota besar tetapi di desa-desa juga sudah ditemukan penderita HIV/AIDS. Menurut data KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) kabupaten Buleleng jumlah kasus HIV/AIDS terhitung pada April 2009 berjumlah 602 kasus yang tersebar di seluruh kecamatan di kabupaten buleleng.
Kasus HIV/AIDS merupakan masalah sosial karena adanya perlakuan di skriminasi terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). ODHA dianggap orang-orang yang patut dikucilkan karena telah menyalahi norma-norma yang berlaku di masyarakat, padahal mereka adalah orang-orang yang seharusnya mendapatkan motivasi dan semangat hidup dari orang-orang di sekitarnya. Anggapan orang tentang HIV/AIDS yang dapat menular dengan mudah adalah salah karena sesungguhnya penularan HIV/AIDS dapat dicegah. Hal inilah yang mendasari penulis dalam menyusun makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah isu-isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS?
2. Apa itu HIV/AIDS?
3. Berapakah jumlah kasus HIV/AIDS yang terjadi di Kabupaten Buleleng?
4. Masalah sosial apakah yang dapat ditimbulkan oleh HIV/AIDS?
5. Bagaimakah peranan pemerintah, pelajar/mahasiswa, Keluarga dan LSM dalam menanggulangi kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di kabupaten Buleleng?
1.3 Tujuan
  1. Untuk mengetahui isu-isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS
  2. Untuk mengetahui apa itu HIV/AIDS
  3. Untuk mengetahui jumlah kasus HIV/AIDS yang terjadi di kabupaten Buleleng
  4. Untuk mengetahui masalah sosial yang dapat ditimbulkan oleh HIV/AIDS
  5. Untuk mengetahui peranan pemerintah, pelajar/mahasiswa, dan LSM dalam menanggulangi kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di kabupaten Buleleng
1.4 Metode
  1. Wawancara
Penulis melakukan wawancara dengan orang-orang yang berkompeten untuk mendapat informasi yang diperlukan dalam penulisan makalah ini.
  1. Kajian pustaka
Penulis melakukan kajian pustaka dari buku-buku literatur, brosur-brosur maupun dari makalah-makalah yang relevan.
1.5 Manfaat
  1. Dapat mengetahui isu-isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS
  2. Dapat mengetahui apa itu HIV/AIDS
  3. Dapat mengetahui jumlah kasus HIV/AIDS yang terjadi di kabupaten Buleleng
  4. Dapat mengetahui masalah sosial yang dapat ditimbulkan oleh HIV/AIDS
  5. mengetahui peranan pemerintah, pelajar/mahasiswa, dan LSM dalam menanggulangi kasus-kasus HIV/AIDS yang terjadi di kabupaten Buleleng
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Isu-Isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS
Bagi masyarakat awam keberadaan penyakit HIV dan AIDS dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Bagi masyarakat istilah HIV dan AIDS biasanya tergambar sebagai masalah medis yang timbul akibat suatu perilaku negative dalam pergaulannya. Penderitanya yang di sebut ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sering dijauhi dalam pergaulan karena dianggap perilaku negatifnya dapat menimbulkan HIV dan AIDS.
Banyak masyarakat menganggap penularan HIV dapat terjadi dengan mudah. Isu yang berkembang di masyarakat mengenai penularan HIV adalah sebagai berikut:
  1. Penularan HIV dapat terjadi karena bersalaman, berpelukan, atau berciuman dengan penderita HIV dan AIDS
  2. Kontak langsung seperti terpapar batuk atau bersin oleh penderita HIV dan AIDS
  3. Memakai fasilitas umum bersama-sama dengan penderita HIV dan AIDS misalnya toilet
  4. HIV dan AIDS dapat menular pada tempat pemandian umum misalnya memakai kolam renang bersama-sama
  5. Hidup bersama, berbagi makanan atau menggunakan alat makan secara bersama dengan ODHA
  6. HIV dan AIDS dapat menular akibat gigitan serangga misalnya nyamuk
Berdasarkan isu yang berkembang pada masyarat mengenai penularan HIV kita akan cenderung mengganggap bahwa HIV itu adalah virus mematikan yang dapat menular dengan mudahnya kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Padahal dalam kenyataannya tidak seperti yang masyarakat bayangkan.
2.2 Apa itu HIV/AIDS
Masyarakat sering mendengar nama penyakit tersebut dan merasa takut akan hadirnya penyakit tersebut. Tetapi sebenarnya masyarakat belum mengetahui secara jelas apa itu HIV dan apa itu AIDS. HIV (Human Imunodeficiensi Virus) adalah virus penyebab AIDS. Terdapat dalam cairan tubuh pengidapnya seperti darah, air mani atau cairan vagina. Pengidap HIV akan tampak sehat sampai HIV menjadi AIDS dalam waktu 5-10 tahun kemudian. Walaupun tampak sehat mereka dapat menularkan HIV pada orang lain. AIDS (Aquired immune Deficiency Syndrome) atau sindroma menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV sehingga tubuh tidak dapat memerangi penyakit.
Seperti isu yang telah berkembang di masyarakat mengenai cara penularan HIV sebenarnya terjadi kekeliruan pada pandangan masyarakat tersebut. Sebenarnya HIV hanya dapat menular melalui 4 cairan tubuh yaitu cairan sperma, cairan vagina, darah, dan yang terbaru ditemukan bahwa virus HIV terdapat pada cairan sumsum tulang belakang. Penularan HIV itu sendiri dapat terjadi melalui beberapa cara:
  1. Melalui hubungan sex yang tidak terlindung (anal, oral, vaginal) dengan pengidap HIV
  2. Melalui transfuse darah atau menggunakan jarum suntik secara bergantian
  3. Melalui ibu hamil pengidap HIV pada bayi yang dilahirkan dan dari ibu ke anak selama menyusui.
HIV tidak ditularkan melalui pergaulan seperti berjabat tangan, sentuhan, ciuman, pelukan, peralatan makan, gigitan nyamuk, penggunaan jamban atau tinggal serumah, kontak dengan penderita yang betuk atau bersin. Hal ini menjawab bahwa isu yang berkembang di masyarakat tidaklah benar.
Siapapun bisa saja tertular HIV dan gejala yang diltimbulkan tidak dapat di bedakan dengan orang sehat kebanyakan karena penampilan luar seseorang tidak menjamin mereka bebas HIV. Orang dengan HIV positif sering terlihat sehat dan merasa sehat sebelum melakukan tes darah. Apabila melakukan tes HIV barulah seseorang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya tertular HIV. Tes HIV merupakan satu-satunya untuk mendapatkan kepastian tertular HIV atau tidak. Pelayanan tes darah ini telah disediakan oleh pemerintah di rumah sakit atau puskesmas dengan tidak dipungut bayaran.
Setelah terinveksi HIV biasanya tidak ada gejala dalam waktu 5-10 tahun. Kemudian AIDS mulai berkembang dan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
1. kehilangan berat badan secara drastis
2. diare yang berkelanjutan
3. pembekakan di leher dan di ketiak
4. batuk terus menerus
Setelah mengetahui apa itu HIV/AIDS pastilah muncul di pemikiran kita bagaimana upaya untuk mencegah penularan HIV. Pencegahan HIV sangat mudah, tergantung pada prilaku kita sendiri. Pencegahannya dapat dilakukan dengan model pencegahanABCDE yaitu:
1. Absen Seks yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali
2. Befaithfull yaitu saling setia dengan pasangan dan tidak berganti-ganti pasangan seks
3. Condom yaitu selalu menggunakan kondom jika melakukkan hubungan seks beresiko baik lewat vagina, dubur, ataupum mulut
4. Don’t Inject yaitu tidak menggunakan alat-alat suntik atyau jarum bekas apalagi menggunakan narkoba suntik
5. Education yaitu selalu mengikuti perkembangan informasi tentanng HIV/AIDS melalui membaca, berbicara mengenai HIV/AIDS untuk menambah pengetahuan.
2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Buleleng
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)Kabupaten Buleleng, dari tahun 2000 sampai April 2009 tercatat sejumlah 602 kasus dan 3 korban telah meninggal dunia. Dari 65 kasus yang dilaporkan pada tahun 2009 tercatat 78% (51 orang) di derita oleh para laki-laki dan sisanya 22% (14 orang ) di derita oleh para perempuan. Menurut informasi yang penulis peroleh dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) cabang Singaraja yang berlokasi di Lovina, kebanyakan dari penderita HIV/AIDS disebabkan oleh perilaku seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik narkoba.
Jumlah kasus HIV/AIDS tahun 2000-2009 di Kabupaten Buleleng
Tahun
Jumlah
2000
2
2001
2
2002
10
2003
21
2004
9
2005
60
2006
125
2007
143
2008
165
Apr-09
65
TTotal
60260

KRITIKAN ATAS PERMASALAHAN SOSIAL MENGENAI HAL KESENJANGAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN PRIBADI MANUSIA ITU SENDIRI

A.    Reorientasi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi bersifat hukuman atau sanksi sosial.

Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.

Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat dalam sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-amam saja. Sepanjang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni  dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembang dalam modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi.

Manusia pun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hal essensial ini akan dicapai apabila masyarakat “menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial, baik itu berupa peraturan tertulis maupun tidak tertulis, kelembagaan penerap sanksi maupun bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi tersebut. Secara realitas unsur-unsur pengawasan sosial ini akan mengalami perubahan-perubahan, baik secara evolusi maupun revolusi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kesepakakatan atau kontrak sosial dari masyarakat kemudian dikukuhkan dalam bentuk kepastian hukum berupa ketentuan tertulis. Prosesi pengangkatan kesepakatan dalam kaidah tidak tertulis ke tertulis adalah proses pemuatan konsep normatif dalam kaidah hukum secara resmi. Legalitas ini akan didukung oleh lembaga perwakilan dari masyarakat.

Penambahan ketentuan tertulis ini dalam masyarakat mempunyai arti penting agar sinkronisasi yang sudah tercipta selama ini merupakan unsur penting dalam menjaga dan memelihara harmonisasi kehidupan manusia. Sehingga sistem sosial yang selama ini berjalan dapat harmonis dengan kehadiran hukum positif. Keberadaan hukum positif dalam masyarakat pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yuridis yang membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System.A Social Science Perspective, 1975 ; menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.

Tuntutan perubahan sosial tersebut membawa dampak pada keberadaan sistem hukum yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Perubahan hukum secara sunatullah, natural dan melalui seleksi alamiah mengalami perubahan dengan sendirinya, bukan persoalan apakah hukum mau tidak mau, suka atau tidak suka, tetapi kembali pada persoalan perubahan itu sendiri. Jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui banyak kendala baik itu yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan penegakan hukum (law enforcement). Tuntutan yang terjadi pada diri “hukum” yang harus melakukan “pemulihan-pemulihan” terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan. Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti “irama” hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalau selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada di menara emas, tidak berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diiginkan oleh hukum itu sendiri, baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.

Memahami persoalan di atas, tentunya kita dapat bercermin pada persoalan-persoalan hukum di tanah air, sebutlah “tuntutan reformasi” di tahun 1998. Kesenjangan  yang terjadi akibat perubahan sosial tersebut membawa perubahan yang sangat besar pada perubahan hukum. Sejak tuntutan reformasi bergulir maka banyak sekali tuntutan yang dilakukan pada perubahan komponen-komponen sistem hukum. Inilah suatu konsekuensi yang terjadi pada sistem hukum.   Hidup maupun matinya sistem hukum sangat tergantung pada perubahan sosial. Sehingga bisa saja terjadi, apa-apa yang menurut kita sebelum reformasi suatu itu baik, mengapa setelah reformasi kita vonis sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.

Perubahan pada diri “hukum” ini sesungguhnya berfungsi menjembatani keinginan-keinginan manusia agar tidak timbul perilaku yang anarkis, distruktif, kondisi chaos, yang sangat melelahkan masyarakat kita, terutama masyarakat kelas bawah atau grass root. Apa yang kita inginkan dari suatu perubahan adalah pemulihan pada keadaan yang lebih baik dan bukan sebaliknya. Secara natural pula maka perubahan yang kita inginkan bukan ada hasil secepatnya,seperti membalik telapak tangan. Perubahan yang terjadi pada hukum adalah persoalan kemasyarakatan, persoalan sosiologis, yang tidak dapat steril dari kekuasaan politik, keinginan pribadi, faktor ekonomi dan sebagainya.
Untuk mencapai tujuan mulia di atas maka hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial. Kendali sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini maka aspek ketertiban, ketentraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.

Setiap perubahan yang terjadi dalam sistem hukum, maka salah satu konsekuensinya akan berujung pada pengaturan secara tertulis. Dalam proses penyusunan, pembentukan, dan pengesahannya akan melekat istilah-istilah dalam kaidah keilmuan hukum seperti hukum positif, legalitas, formalitas, kepastian hukum,  kekakuan maupun bersifat jelas dan tegas. Pengaturan yang bersifat tertulis merupakan dokumen sah menurut hukum modern. Dalam konteks ini maka semua pihak yang terlibat dalam apa-apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus tunduk dan taat asas pada apa-apa yang telah diaturnya. Dengan kondisi ini maka pihak-pihak yang akan mengurus sesuatu, bersengketa dan mengupayakan hukum ke tingkat yang lebih atas akan mengikuti pola aturan yang sudah ditetapkan. Setelah pengaturan dibuat maka terkenallah adagium : semua orang dianggap tahu hukum.

Secara sosiologis, persoalan penegakan hukum, law enforcement adalah persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan. Maka kemudian kita akan membincangkannya dalam koridor pertanyaan-pertanyaan seputar program sosialisasi, implementasi atau aplikasi, perangkat pendukung (perangkat lunak maupun keras), koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan itu berhasil dalam masyarakat, dan semua mematuhinya.

Namun dalam perjalannya pengaturan tersebut tidak akan membuahkan yang manis-manis yang ditunjukkan oleh taat dan patuhnya masyarakat pada aturan tersebut. Kita akan melihat betapa banyak penyakit hukum (patologi hukum) yang menyertai perjalanan pengaturan itu, baik itu sejak pra, proses maupun hasil, evaluasi, bahkan implementasi, penuh onak dan duri. Penyelesaian penyakit ini di satu sisi membutuhkan ketekunan dan komitmen segenap pihak adalah jawaban yang umum kita dengar. Apapun bentuknya pengaruh atau intervensi, atau sisi lain di luar hukum adalah hal yang sosiologis dan manusiawi terjadi. Sebesar atau sekecil apapun bentuk ciptaan manusia adalah titik kelemahan yang dibuatnya. Sejak suatu persoalan itu diatur maka sejak itu pula persoalan itu tidak pernah akan selesai, maka kalau kita berfikir sejak persoalan itu diatur oleh hukum akan selesai, sejak itu pula kita telah dijajah oleh pemikiran yang sempit dalam mengkaji hukum.

Persoalan lain yang muncul adalah beragamnya penafsiran terhadap pengaturan. Dalam kerangka ilmu hukum telah jelas patokannya. Jika kita ingin menafsirkan peraturan maka kita dapat menggunakan 9 metode penafsiran yang dipakai dalam kedisiplinan ilmu hukum.  Apalagi hal yang kita tafsirkan berada di luar aturan yang ada. Hal ini memungkinkan semakin banyaknya mufassirin, ahli tafsir yang tidak mengetahui duduk persoalan mulai menafsirkan sesuka hatinya apalagi kemudian tidak dilatarbelakangi oleh kemampuan pendidikan yang cukup.
Persoalan penafsiran merupakan persoalan yang rumit sekaligus penting. Mengapa seseorang bertahan pada pendapat yang tidak mau terbantahkan, merasa pendapatnya yang paling benar, tidak mau mengakui pendapat orang lain, apalagi seseorang itu melekat jabatan penguasa, adalah perilaku yang melekat sejak aturan disosialisasikan.

Implementasi pengaturan merupakan perwujudan dari keinginan kaidah hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial dapat terjelmakan dalam masyarakat. Sejak implementasi aturan dijalankan sejak itu pula aturan berbaur dengan masyarakat. Aturan akan diuji kehandalannya, apakah dapat efektif berlaku, apakah hanya barang pelengkap saja. Sejak itu pula aturan mengalami dinamika intervensi, mengalami perbenturan, pergeseran dan akhirnya perubahan akibat gesekan-gesakan sosial dalam interaksinya  di dalam masyarakat. Maka kondisi ini akan kembali lagi pada setting social awal dari rangkaian pentahapan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Artinya kita akan melihat perputaran ini merupakan siklus alamiah yang akan dihadapi dan terus menerus berlangsung dalam tatanan kehidupan.
Hikmah apa yang dapat kita ambil dari siklus tersebut yaitu :

1.    Hukum akan mengalami dinamisasi bila berhadapan dengan perubahan.
2.    Perubahan sosial secara evolusi maupun revolusi akan membawa konsekeunsi pada pemulihan hukum.
3.    Hukum mengalami perubahan pada dirinya seperti kehendak pengaturan yang disertai pula oleh intervensi positif maupun negatif berupa penyakit hukum.
4.    Fungsi hukum sebagai kendali sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan mulia hukum.
5.    Implementasi hukum merupakan problematik yang kompleks karena banyak bersinggungan dengan berbagai faktor dalam masyarakat.
6.    Sejak hukum diterapkan sejak itu pula timbul multi tafsir dalam masyarakat.

Di bawah ini diuraikan ragaan seputar bekerjanya hukum dalam masyarakat sebagai skematis yang sederhana dari uraian di atas sebagai berikut :





B.    Interaksi Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum

Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan seperti dua sisi sekeping mata uang. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Paradigma atau yang disebut model atau cara pandang yang bersifat ilmiah adalah cara pandang yang tidak bersifat individual melainkan kolektif, peers group, teman sejawat yang telah mengalami uji “laboratorium sosial”. Oleh sebab itu perjalanan paradigma adalah perjalanan otodidak, tidak diciptakan dan diuji keabsahannya oleh kaum ilmuwan dan masyarakat.

Apa yang kita sebut sebagai paradigma telah mengalami proses berfikir secara metodologis keilmuan yang akan dibuktikan keterandalannya melewati ruang dan waktu. Sebagai bentuk pegangan dalam menganalisis, paradigma bukan merupakan hasil akhir tetapi sebuah tawaran akademik yang memberikan jalan berfikir pada pengamat untuk mengevaluasi kembali pola pikir yang telah dianut orang banyak. Sejalan dengan hal ini maka yang dihindari adalah penganutan paradigma secara “kultus individu”, yang berpegang pada satu paradigma dan membelanya mati-matian, tanpa berfikir bahwa persoalan hukum adalah persoalan sosial, maka kerap kali yang dihadapi adalah memberikan penjelasan yang mudah dan dapat diterima semua pihak.

Paradigma dalam proses berfikir merupakan sebuah tawaran saja bagi proses pembelajaran suatu kaidah keilmuan, bukan tawaran akhir. Sepanjang perjalanan umat manusia untuk terus berfikir, maka terbuka banyak sekali kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru dengan setting social yang berbeda.
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah :

1.    Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat

Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma pertama ini adalah :
a)    Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b)    Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c)    Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d)    Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e)    Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti ditempatnya adalah dibelakang peristiwa bukan mendahuluinya.

Paradigma pertama ini kita sebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuaian Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru, misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.

Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara.

Sebagai contoh dalam paradigma ini adalah kejahatan teknologi canggih seperti computer, internet (cyber crime), pengaturan pernikahan beda agama, cloning, perbankan syari’ah, santet dan sejenisnya, pornografi, terorisme, status hukum waria, legalitas pernikahan lesbian dan homo, bayi tabung, euthanasia, status pria hamil. Sedemikian banyak sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat yang perlu dibungkus dengan baju hukum tetapi tidak semua di atur oleh hukum. Ini ibarat fenomena gunung es, yang secara realitas hal-hal yang penulis kemukakan adalah permukaan saja yang senyatanya lebih banyak  dari contoh di atas. Hal-hal yang diatur oleh hukum dikemudian hari sudah merupakan pilihan kebijakan publik dari pemerintah dengan  beberapa pertimbangan. Kalaupun misalnya persoalan-persoalan di atas masuk dalam perkara di pengadilan maka yang dijadikan dasar adalah aturan yang bersifat umum, masih mencari-macari peraturan bahkan sudah kadaluwarsa, tidak spesifik pada kasus tersebut.

Paradima pertama ini dalam interaksi perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian difikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi.

2.    Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.

Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma kedua ini adalah :
a)    Law as a tool of social engineering.
b)    Law as a tool of direct social change.
c)    Berorientasi ke masa depan (forward look-ing).
d)    Ius Constituendum
e)    Hukum berperan aktif.
f)    Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.

Essensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan bakal muncul. Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat oleh karena sanksi penjara dan denda yang sangat tinggi seperti UULLAJR (Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya). Akibatnya pemerintah menunda pemberlakuan UU ini.
Kedua paradigma di atas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain nilai positif yang kita ambil adalah :

a.    Aspek pengkajian hukum
Didahului dengan observasi lapangan dan dianalisis berdasarkan nilai kebutuhan riil masyarakat.  Hasil riset dapat dijadikan parameter untuk menentukan produk hukum yang dikeluarkan. Studi komparatif sangat dimungkinkan mengingat produk hukum yang akan dibuat telah belajar di tempat lain.

b.    Aspek pendidikan hukum.
Kedua paradigma tersebut menjadi wadah penting bagi proses pembelajaran dalam pendidikan hukum. Orientasi pendidikan hukum sangat berhubungan dengan pola peningkatan intelektual hukum dengan menelaah kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat yang nantinya dapat diambil konsep-konsep dasar pengembangan pendidikan hukum.
Di bawah ini diuraikan ragaan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum sebagai skematis yang sederhana dari uraian di atas sebagai berikut :

Hak Atas Kekayaan Intelektual serta Etika

Etika komputer adalah seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan penggunaan komputer. Etika komputer berasal dari 2 suku kata yaitu etika (bahasa Yunani: ethos) adalah adat istiadat atau kebiasaan yang baik dalam individu, kelompok maupun masyarakat dan komputer (bahasa Inggris: to compute) merupakan alat yang digunakan untuk menghitung dan mengolah data. Jumlah interaksi manusia dengan komputer yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat etika komputer menjadi suatu peraturan dasar yang harus dipahami oleh masyarakat luas.


Sejarah Etika Komputer

Komputer ditemukan oleh Howard Aiken pada tahun 1973 Penemuan komputer di tahun 1973 ini menjadi tonggak lahirnya etika komputer yang kemudian berkembang hingga menjadi sebuah disiplin ilmu baru di bidang teknologi.
  • Generasi I (Era 1940-an)
Terdapat 2 peristiwa penting pada tahun 1940-an yaitu Perang Dunia II dan lahirnya teknologi komputer. Selama Perang Dunia II, Profesor Norbert Wiener mengembangkan sebuah meriam antipesawat yang mampu melumpuhkan setiap pesawat tempur yang melintas di sekitarnya. Pengembangan senjata tersebut memicu Wiener untuk memperhatikan aspek lain selain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu etika. Dalam penelitiannya, Wiener meramalkan terjadinya revolusi sosial dari perkembangan teknologi informasi yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul Cybernetics: Control and Communication in the Animal and Machine. Penelitian Wiener masih terus berlanjut hingga tahun 1950-an. Meskipun Wiener tidak pernah menggunakan istilah etika komputer dalam setiap bukunya, konsep pemikirannya telah menghasilkan fondasi yang kuat dalam perkembangan etika komputer di masa mendatang.
  • Generasi II (Era 1960-an)
Meningkatnya jumlah penggunaan komputer pada era tersebut membuat Donn Parker dari SRI International Menlo Park California melakukan berbagai penelitian terhadap penggunaan komputer secara ilegal. Menurut Parker, kejahatan komputer terjadi karena kebanyakan orang mengabaikan etika dalam penggunaan komputer. Pemikiran Parker menjadi pelopor kode etik profesi di bidang komputer (Kode Etik Profesional).
  • Generasi III (Era 1970-an)
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence memicu perkembangan program-program komputer yang memungkinkan manusia berinteraksi secara langsung dengan komputer, salah satunya adalah ELIZA. Program psikoterapi Rogerian ini diciptakan oleh Joseph Weizenbaum dan mengundang banyak kontroversi karena Weizenbaum telah melakukan komputerisasi psikoterapi dalam bidangkedokteran. Istilah etika komputer kemudian digunakan oleh Walter Maner untuk menanggapi permasalahan yang ditimbulkan oleh pemakaian komputer pada waktu itu. Era ini terus berlanjut hingga tahun 1980-an dan menjadi masa kejayaan etika komputer, khususnya setelah penerbitan buku teks pertama mengenai etika komputer yang ditulis oleh Deborah Johnson dengan judul Computer Ethics.
  • Generasi IV (Era 1990-an)
Penelitian dan pelatihan etika komputer berkembang pesat mulai tahun 1990 hingga saat ini. Berbagai konferensirisetjurnalartikel dan buku mengenai etika komputer terus berkembang sehingga masyarakat dunia menyadari pentingnya etika dalam penggunaan komputer. Etika komputer juga menjadi dasar lahirnya peraturan atau undang-undang mengenai kejahatan komputer.

[sunting]
Isu Seputar Etika Komputer

Lahirnya etika komputer sebagai sebuah disiplin ilmu baru dalam bidang teknologi tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan seputar penggunaan komputer yang meliputi kejahatan komputer, netiket, e-commerce, pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelekstual) dan tanggung jawab profesi.

[sunting]
Kejahatan Komputer

Kejahatan komputer atau computer crime adalah kejahatan yang ditimbulkan karena penggunaan komputer secara ilegal. Kejahatan komputer terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi komputer saat ini. Beberapa jenis kejahatan komputer meliputi Denial of Services (melumpuhkan layanan sebuah sistem komputer), penyebaran virusspamcarding (pencurian melalui internet) dan lain-lain.

[sunting]
Netiket

Internet merupakan aspek penting dalam perkembangan teknologi komputer. Internet merupakan sebuah jaringan yang menghubungkan komputer di dunia sehingga komputer dapat mengakses satu sama lain. Internet menjadi peluang baru dalam perkembangan bisnispendidikankesehatan, layanan pemerintah dan bidang-bidang lainnya. Melalui internet, interaksi manusia dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka. Tingginya tingkat pemakaian internet di dunia melahirkan sebuah aturan baru di bidang internet yaitu netiket. Netiket merupakan sebuah etika acuan dalam berkomunikasi menggunakan internet. Standar netiket ditetapkan oleh IETF (The Internet Engineering Task Force), sebuah komunitas internasional yang terdiri dari operator, perancang jaringan dan peneliti yang terkait dengan pengoperasian internet.

[sunting]
E-commerce

Berkembangnya penggunaan internet di dunia berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan perdagangan negara. Melalui internet, transaksi perdagangan dapat dilakukan dengan cepat dan efisien. Akan tetapi, perdagangan melalui internet atau yang lebih dikenal dengan e-commerce ini menghasilkan permasalahan baru seperti perlindungan konsumen, permasalahan kontrak transaksi, masalah pajak dan kasus-kasus pemalsuan tanda tangan digital. Untuk menangani permasalahan tersebut, para penjual dan pembeli menggunakan Uncitral Model Law on Electronic Commerce 1996 sebagai acuan dalam melakukan transaksi lewat internet.

[sunting]
Pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)

Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh internet menyebabkan terjadinya pelanggaran HAKI seperti pembajakan program komputer, penjualan program ilegal dan pengunduhan ilegal.

[sunting]
Tanggung Jawab Profesi

Berkembangnya teknologi komputer telah membuka lapangan kerja baru seperti programmer, teknisi mesin komputer, desainer grafis dan lain-lain. Para pekerja memiliki interaksi yang sangat tinggi dengan komputer sehingga diperlukan pemahaman mendalam mengenai etika komputer dan tanggung jawab profesi yang berlaku.

[sunting]
Etika Komputer di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara pengguna komputer terbesar di dunia sehingga penerapan etika komputer dalam masyarakat sangat dibutuhkan. Indonesia menggunakan dasar pemikiran yang sama dengan negara-negara lain sesuai dengan sejarah etika komputer yang ada. Pengenalan teknologi komputer menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hinggaSekolah Menengah Atas (SMA sederajat). Pelajar, mahasiswa dan karyawan dituntut untuk bisa mengoperasikan program-program komputer dasar seperti Microsoft Office. Tingginya penggunaan komputer di Indonesia memicu pelanggaran-pelanggaran dalam penggunaan internet. Survei Business Software Alliance (BSA) tahun 2001 menempatkan Indonesia di urutan ketiga sebagai negara dengan kasus pembajakan terbesar di dunia setelah Vietnam dan China. Besarnya tingkat pembajakan di Indonesia membuat pemerintah Republik Indonesia semakin gencar menindak pelaku kejahatan komputer berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (penyempurnaan dari UUHC No. 6 Tahun 1982 dan UUHC No. 12 Tahun 1997). Upaya ini dilakukan oleh pemerintah RI untuk melindungi hasil karya orang lain dan menegakkan etika dalam penggunaan komputer di Indonesia.

[sunting]
Referensi

  • Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
  • Simarmata, Janner. 2008. Pengenalan Teknologi Komputer dan Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
  • Wahyono, Teguh. 2009. Etika Komputer: Tanggung Jawab Profesional di Bidang Teknologi Informasi. Yogyakarta:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes